Pendahuluan
Kontrol termodinamika atau kinetika dalam reaksi kimia dapat menentukan
komposisi campuran produk reaksi ketika jalur bersaing mengarah pada produk
yang berbeda serta selektivitas dari pengaruh kondisi reaksi tersebut. Kondisi
reaksi seperti suhu, tekanan atau pelarut mempengaruhi jalur reaksi; maka dari
itu kontrol termodinamik maupun kinetik adalah satu kesatuan dalam dalam suatu
reaksi kimia. Kedua kontrol reaksi ini disebut sebagai faktor termodinamika dan
faktor kinetika, dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Faktor
termodinamika (adanya stabilitas realtif dari produk) Pada suhu tinggi, reaksi
berada di bawah kendali termodinamika (ekuilibrium, kondisi reversibel) dan
produk utama berada dalam sistem lebih stabil.
2. Faktor
kinetik (kecepatan pembentukan produk) Pada temperatur rendah, reaksi ini di
bawah kontrol kinetik (tingkat, kondisi irreversible) dan produk utama adalah
produk yang dihasilkan dari reaksi tercepat.
Reaksi
sederhana berikut (gambar 1) adalah koordinat diagram yang menggambarkan dasar
tentang kontrol termodinamika dan kinetika.
Pada
diagram tersebut dapat dijelaskan bahwa bahan awal (SM) dapat bereaksi untuk
memberikan dua produk yang berbeda yaitu P1 (garis hijau) dan P2 (garis biru)
melalui jalur yang berbeda. Reaksi 1 (hijau) menghasilkan P1, dimana reaksi
pada P1 akan bereaksi lebih cepat karena memiliki keadaan transisi lebih stabil
(TS1). Hal ini karena adanya penghalang aktivasi yang lebih rendah. Jadi P1
adalah produk kinetik. Reaksi 2 (biru) menghasilkan P2. P2 adalah produk yang
lebih stabil karena berada pada energi yang lebih rendah dari P1. Jadi P2
adalah produk termodinamika. Sekarang diperhatikan apabila temperatur pada
reaksi tersebut diubah sehingga energi rata–rata molekul berubah:
1. Pada
tempearture rendah, reaksi terjadi sepanjang jalur hijau (P1) dan akan berhenti
ketika kekurangan energi untuk membalikkan ke SM (irreversibel), sehingga rasio
produk reaksi ditentukan oleh tingkat pembentukan P1 dan P2, K1: K2.
2. Pada
temperatur sedikit lebih tinggi akan menjadi reversibel sementara reaksi 2
tetap irreversibel. Jadi meskipun P1 dapat membentuk awalnya, dari waktu ke
waktu akan kembali ke SM dan bereaksi untuk menghasilkan produk P2 yang lebih
stabil.
3. Pada
suhu tinggi, baik reaksi 1 dan 2 adalah reversibel dan rasio produk reaksi
ditentukan oleh konstanta kesetimbangan untuk P1 dan P2; K1 : K2
Kinetika berkaitan kecepatan reaksi,
termodinamika berkaitan dengan stabilitas intermediet atau produk yang terjadi.
Reaksi karbonil merupakan contoh reaksi yang menarik untuk membahas kontrol
reaksi. Hal ini dikarenakan banyaknya produk yang bisa saja terbentuk jika
tidak dikontrol secara ketat. Ini berkaitan dengan adanya “diverse reactivity”
senyawa karbonil. Di satu sisi dia bisa berperilaku sebagai elektrofil, namun
juga bisa bersifat nukleofil pada kondisi tertentu. Satu contoh misalnya pada
reaksi Aldol, dengan 2 reaktan (A dan B) yang sama-sama mempunyai hidrogen
alfa, maka kemungkinan reaksi yang terjadi: A + A, A + B, B + A, dan B + B.
Artinya, selain adanya kondensasi silang, juga terdapat selfcondensation. Belum
selesai masalah tersebut jika ternyata senyawa A ata B berupa molekul asimetri
sehingga adanya 2 kemungkinan H alfa yang menghasilkan intermediet yang berbeda
(regioselektivitas).
Kemoselektivitas dan Regioselektivitas
Dalam reaksi dikenal istilah
kemoselektivitas dan regioselektivitas. Kedua selektivitas tersebut dapat
dikontrol dengan cara kinetika dan termodinamika. Namun sebelumnya, apakah
pengertian kemoseletivitas dan regioselektivitas?
1.
Kemoselektivitas
adalah
memilih untuk dapat mereaksikan salah satu gugus fungsional dari dua gugus yang
berada pada satu molekul. Contoh pada senyawa karbonil, yang bisa berperan
sebagai nukleofil (sebagai enolat) dan juga elektrofil.
2.
Regioselektivitas
adalah
memilih untuk dapat mereaksikan salah satu dari gugus fungsional yang sama pada
satu molekul. Contoh keton asimetris, yang memiliki dua atom C alfa yang bisa
berperan sebagai nukleofil.
1. Termodinamik untuk Reaksi
Untuk terjadinya reaksi secara spontan, energi bebas produk harus
lebih rendah daripada energi bebas reaktan, yakni ∆G harus negatif.
Reaksi dapat saja berlangsung melalui jalan lain, tapi tentu saja hanya jika
energi bebas ditambahkan. Energi bebas terbuat dari dua komponen yaitu entalpi H
dan entropi S. Kuantitas tersebut dihubungkan dengan persamaan:
∆G = ∆H – T∆S
Perubahan entalpi dalam suatu reaksi terutama adalah perbedaan
energi ikat (meliputi energi resonansi, tegangan, dan solvasi) antara reaktan
dengan produk. Perubahan entalpi dapat dihitung dengan menjumlahkan semua
energi ikatan yang putus, kemudian dikurangi dengan jumlah energi semua ikatan
yang terbentuk, dan ditambahkan dengan perubahan energi resonansi, tegangan,
atau energi solvasi. Molekul
rantai terbuka mempunyai entropi yang lebih besar daripada molekul lingkar
karena lebih banyak konformasinya. Pembukaan cincin berarti penambahan entropi
dan penutupan berarti pengurangan entropi.
2. Persyaratan
Kinetik Reaksi
Entalpi aktivasi (∆H‡) adalah perbedaan energi ikatan (meliputi energi tegangan,
resonansi dan solvasi) antara senyawa starting material dengan keadaan
transisi. Di dalam kebanyakan reaksi, ikatan-ikatan telah putus atau putus
secara parsial pada sesaat keadaan transisi tercapai; energi yang penting untuk
hal ini adalah ∆H. Adalah benar bahwa tambahan energi akan disuplai oleh
pembentukan ikatan baru, tapi jika hal ini terjadi setelah keadaan transisi
maka hal ini hanya dapat berpengaruhi pada ∆H dan bukan ∆H‡.
Entropi aktivasi (∆S‡) yang merupakan perbedaan entropi antara senyawa starting material
dengan keadaan transisi menjadi penting jika dua molekul yang bereaksi saling
mendekati satu sama lain dalam suatu orientasi spesifik untuk terjadinya
reaksi.
3.
Kontrol Kinetik dan Kontrol Termodinamik
Ada banyak hal dalam mana suatu senyawa di bawah kondisi reaksi yang
diberikan dapat mengalami reaksi kompotisi menghasilkan produk yang
berbeda.
Gambar diatas memperlihatkan
profil energi-bebas untuk suatu reaksi dalam mana B lebih stabil secara
termodinamika daripada C (∆G lebih rendah), tapi C terbentuk lebih cepat
(∆G‡ lebih rendah). Jika tidak ada satupun reaksi yang
revesibel maka C akan terbentuk lebih banyak karena terbentuk lebih cepat.
Produk tersebut dikatakan terkontrol
secara kinetik (kinetically controlled). Akan tetapi, jika reaksi
adalah reversibel maka hal tersebut tidak menjadi penting. jika proses
dihentikan sebelum kesetimbangan tercapai maka reaksi akan dikontrol oleh
kinetik karena akan lebih banyak diperoleh produk yang cepat terbentuk. Akan
tetapi jika reaksi dibiarkan sampai mendekati kesetimbangan maka produk yang
akan dominan adalah B. di bawah kondisi tersebut, C yang mula-mula terbentuk
akan kembali ke A, sementara B yang lebih stabil tidak berkurang banyak. Maka
dikatan bahwa produk terkontrol secara
termodinamik (thermodynamically controlled).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMAKASIH SUDAH BERKOMENTAR :)